Minggu, 19 Februari 2012

A Trip to English Village in Pare, Kediri

Reader, tanggal 23 Januari lalu saya melakukan perjalanan ke Pare, Kediri. As you know, Pare is one of a place in Kediri that known as its English Village.
Saya yang sementara ini setengah jobless-setengah freelancer memutuskan untuk pergi mengasah kemampuan bahasa inggris saya berguru pada ahlinya disana. Sambil menunggu bukaan untuk melanjutkan studi S1 saya dari D3 di tahun ajaran selanjutnya. Saya pikir, lumayan juga pergi ke Pare daripada nunggu di Jogja selama 6 bulan cuma ngerjain proyek yang ga jelas kapan diberi honornya (curhat colongan nih…).  Atas dukungan dan doa orangtua, saya pun memutuskan dengan mantap untuk pergi ke Kediri bersama salah seorang sahabat saya.
Perjalanan ke Kediri saya tempuh dengan menggunakan kereta api ekonomi berfasilitas angin cepay-cepoy… Yuhu! Kediri we’re coming! Waktu yang ditempuh dari stasiun Lempuyangan-Jogja sampai stasiun Kediri adalah +/- 6 jam. Berangkat habis subuh, nyampe Kediri pas dhuhur.
Sepanjang perjalanan yang saya lakukan adalah: ngobrol, ngemil, minum, buang air kecil, nunjuk-nunjuk obyek ga jelas dari jendela, lirik-lirik barang jajaan penjual di kereta tapi ga beli, menolehkan muka dari tatapan ‘ganas’ pedagang, pura-pura tidur kalo ada pengamen, tidur beneran dan tidak berhenti bertanya ‘kapan nyampe ya?’.
Rute keretanya yaitu Jogja-Klaten-Solo-Sragen-Madiun-Nganjuk-Kertosono-Kediri. Lumayan bikin pantat pegel-pegel, tapi masih kalah panjang dengan perjalanan Jogja-Cirebon.
Waktu sampai di Madiun, saya teringat dengan salah seorang kakak tingkat saya di D3, sebut saja Mas Re (nama sebenarnya-red). Beliau adalah orang asli Madiun. Dulu waktu saya masih menjadi asisten praktikum di kampus, saya pernah mencetuskan ide cemerlang pada beliau. Ide cemerlang yang membuat semua orang kala itu tertawa terbahak-bahak atau dengan bahasa anak gaul saat ini adalah ngakak guling-guling.
Reader tau kan ada yang namanya goyang gayung? Dipopulerkan oleh salah satu iklan selluler yang ceritanya model iklan tersebut jadi trendsetter untuk goyang orisinal-nya –goyang gayung-, gara-gara diupload sama ibunya ke Youtube. Nah, ide yang saya cetuskan kala itu adalah Mas Re juga bisa menciptakan goyang orisinal asli Madiun. Yup! Apalagi kalo bukan Goyang Pecel! Saya berencana duet maut sama Mas Re untuk mengkolaborasikan Goyang Pecel khas Madiun dengan Goyang Peuyeum khas Jawa Barat. Kayak apa bentuknya? Entahlah… tunggu aja tanggal mainnya. Yah… sepercik memori ketika saya melakukan perjalanan ke Kediri.
Ketika kereta berhenti di salah satu stasiun di Madiun, perhatian saya dan sahabat saya tertuju pada figur(?) seekor kambing yang posisinya, um.. how do I say it? Aneh… setelah kami perhatikan secara seksama ternyata kambingnya lagi pipis, awww… >.<

Maaf, untuk menjaga privasi si kambing,
saya tidak menampilkan foto dalam posisi ‘syur’-nya

kemudian, perjalanan pun berlanjut. Saking lama dan membosankannya, sahabat saya pun tertidur dalam posisi mengenaskan…

Ika, lagi bubuk… ckckckck.
Yeay! Akhirnya sampai juga di Kediri. Di stasiun kami sudah disambut oleh pria-pria ganteng berbaju kuning (baca: tukang becak). Mereka dengan baik hati menawarkan tumpangan untuk naik angkot menuju Kampung Inggris. Saya kira gratis, ternyata tidak (of course! What did you expect?!), yaaa… siapa tau gitu kan…
Setelah kami deal harga, bapak becak mengangkat barang-barang bawaan kami dan menuntun kami menuju becaknya. Wah! Ternyata becak Kediri beda banget sama becak di Jogja atau di kampung halaman saya. Becak di Kediri bentuknya lebih ramping, hal itu membuat saya berpikir dan khawatir, muat ga ya kalau dinaiki saya dan ibu saya?

Becak ramping khas Kediri
Cuaca di Kediri, wah… jangan ditanya! Mantap panasnya. Hot, Hot, Hot! Three Set Combo Hot! Apalagi kami sampai di Kediri pas jam 12 siang. Ampun… >.<
Nunggu angkot ngetem lebih bikin frustasi lagi. Udah panas, sempit, desek-desekan, keringatan, gatal-gatal dan bau. Ya, mau gimana lagi. Perjalanan dari Kediri ke Kampung Inggris di Pare memakan waktu kurang lebih 40 menit. Jadi lumayan jauh juga kalo jalan kaki (jalan kaki?! Dimana akal sehatmu nis?!)
Dalam angkot, kami sempat mengobrol ringan dengan beberapa orang yang sudah lebih dulu belajar di Pare. Ketika kami bilang kami akan tinggal di ‘Di** House’ untuk tiga bulan, salah satu dari mereka bilang ‘hati-hati ya kalau mandi’. Belum sempat kami tanya kenapa, teman mereka yang lain sudah memotong. Reaksi yang sama juga kami dengar ketika kami ngobrol dengan rombongan lain di angkot yang sama, ‘hati-hati ya kalau mandi’. Tapi kami juga tidak sempat bertanya kenapa. Oh please, don’t start with the bad thing.
Ya sesampainya di boarding house, ternyata tidak mengobati lelahnya kami. Kondisi kamar yang pas-pasan membuat kami tidak bisa berhenti mengeluh dan tidak membuat kami nyaman untuk beristirahat. Ya, maklumlah untuk boarding house yang non-English area dan hanya sebuah rumah yang disulap menjadi tempat kost. Mau ke kamar mandi mikir berkali-kali, ada apa sekiranya disana. Walhasil setiap kali kami mau mandi, kami selalu waspada, barangkali ada yang ngintip atau ada yang ngapain, entahlah. Pokoknya, status siaga ditetapkan tiap mandi. Well, ternyata setelah beberapa hari tinggal disana tidak ada apa-apa tuh. Peringatan mereka kami laksanakan tetapi tidak terbukti dan mudah-mudahan tidak akan pernah terbukti.
I hope that for the time I stay here Allah SWT will always protect me, keep me from anything bad. Amiin… Allah tolong lindungi kami…
Okay then, begitulah sedikit cerita tentang perjalanan kami ke Kampung Inggris, it was fun but also tiring, a little bit boring and disappointing too. But it was okay, it’s not like I will be stay here forever. Keep fighting!

Regard.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar