Selasa, 09 Oktober 2012

Memories of Fruits #1


Hihi, saya suka senyum-senyum sendiri kalau mengingat kenangan saya akan buah-buahan. Yup, seperti judulnya, tanpa ada makna konotasi atau sejenisnya, yang saya maksudkan benar-benar karena ingatan saya terhadap buah-buahan. I thought it pretty interesting stories to be told.
Lahir di lingkungan masyarakat yang hobi bertanam, dan besar di daerah pedesaan membuat persepsi saya terhadap jenis buah-buahan berbeda dan relatif unik. Kakek (alm) dari ibu saya adalah seorang guru yang hobi bercocok tanam. Di pekarangan kakek saya tumbuh cengkeh, rambutan, anggur, alpukat, pisang, pepaya, jambu, tanaman-tanaman obat, mangga dan tanaman bermanfaat lainnya. Begitu pula kakek dari ayah saya yang seorang petani, beliau sampai sekarang masih menggarap sawah, mengurus pohon mangga, pohon melinjo dan kelapa di sekitar pekarangannya. Saya tumbuh menjadi cucu yang hanya mengenal jenis-jenis buah-buahan tersebut.

And the story goes. Stroberi menjadi salah satu buah favorit saya. Yang mana stroberi (tulisan Indonesia banget), adalah buah yang tidak pernah saya makan dari kecil. Maklumlah, saya dulu tinggal di kampung daerah pantai, wajar saja kalau tidak ada stroberi disana. Saya selalu merengek2 minta dibelikan stroberi oleh orangtua saya. Entah karena alasan stroberi saat itu terlalu mahal atau memang susah didapat, orangtua saya tidak pernah membelikannya. Saya hanya bisa berharap agar suatu saat bisa menemukannya di jalan, dan langsung memakannya. 

Dulu sangat populer film Jinny Oh Jinny, Jin dan Jun dan sinetron yang berbau sihir dan khayalan. Saat itu saya berharap untuk bisa bertemu dengan om Jin atau Jinny dari lampu ajaib, minta dikabulkan permintaan saya untuk bertemu buah idaman saya itu. Bahkan saya pernah mengambil batu kali dan menekannya di kedua telapak tangan saya sambil berdoa, “Ya Allah, ubahlah batu ini menjadi stroberi”. Ya betul, it’s indeed an absurd thing I’ve ever done.

Kemudian, apel. Apel hijau sering saya makan ketika saya ikut ibu saya belanja ke warung. Apel hijau mahal seharga 300-500 rupiah itu sering saya makan. Tapi apel merah… wah jangan ditanya, dulu saya sangat berharap bisa memakannya tiap hari. Ada cerita menarik, waktu SD saya sempat dimusuhi teman gara-gara apel merah. Dan memusuhi saya adalah dua sahabat dekat waktu itu. #ohh~
Suatu hari ketika saya sedang duduk di depan kelas dengan dua orang sahabat saya itu, saya didekati teman laki-laki saya yang membawa apel merah. Dia bermaksud untuk meminjam cutter saya untuk memotong apel merahnya, wah senang bukan main saya. Langsung berlari ke kelas, ambil cutter dan pergi ke toilet untuk membersihkannya.
Saya berikan cutternya, kemudian teman lelaki itu mulai memotong apel dengan hati-hati dan penuh perhitungan, lama sekali sampai daging apel berwarna kecoklatan, lalu memberikan sebagian potong kecil apelnya untuk saya. Sambil humming dan riang saya kembali ke depan kelas dan dengan polosnya menawarkan apel yang saya cintai itu pada dua sahabat saya.
Si sahabat satu dengan sinisnya berkata sambil berlalu: “Huh, apel doang seneng banget, aku udah sering kok makan di rumah, bisa beli sendiri lagi”.
Jedheerrr!!!
Hancurlah hati gadis kecil yang polos dan tidak tahu apa-apa itu (baca: saya). Kenapa pula tuh dua orang menghancurkan fantasi saya dengan si apel merah cantik itu, dengan perkataan yang secara tersirat mengandung makna “Kampungan banget sih lu…” huhu, dengan mata berkaca-kaca saya makan apel yang rasanya jadi pahit dan mengikuti mereka pergi. Kenangan pahit dengan buah apel merah yang seharusnya terasa manis, untungnya saya tidak mengalami trauma untuk makan apel merah. Syukurlah… (_TvT_)

Okay, that’s it for now. I’ll tell you next time for sure, since I have so many more to tell… :D

Regard

Minoritas


Ya Allah, hamba bersyukur, selalu bersyukur. Dengan segala nikmat duniawi ini, nikmat sehat, nikmat rahmat, nikmat rejeki, nikmat keluarga yang baik dan segala nikmat dari-Mu. Alhamdulillah…
Berusaha untuk menghindari sikap mengeluh, hamba mencoba untuk menjalankan kehidupan ini dengan penuh syukur dan melakukan suatu apapun dengan mengingat nama-Mu. Tiada tempat bagi hamba untuk mengadu selain pada-Mu. Maka ampunilah hamba yang penuh dosa ini ya Allah.

Let’s put it aside first. Seperti yang telah saya katakan, tanpa bermaksud mengeluh, atau mendustakan nikmat-Nya, saya hanya ingin bercerita dan mengungkapkannya dalam sebuah tulisan sederhana.
Kehidupan dunia memang berat, oleh karenanya saya selalu rindu pada Tuhan, pada agama yang saya peluk, hal yang satu-satunya bisa membuat saya tenang dan terarah. Seandainya kematian itu datang, tidak bermaksud apa-apa, saya ikhlas dan siap untuk bertemu dengan peradilan-Nya. Bukan karena saya menghindari kehidupan dunia yang serba berat, dan bukan pula karena keangkuhan percaya diri saya akan masuk surga. Sekali lagi, karena saya rindu pada-Nya. Subhanallah.
Sekarang ini saya sedang diuji, secara batin dan keikhlasan saya dalam menjalankan kehidupan ini. Berbagai macam hal yang terjadi akhir-akhir ini, melemahkan kekuatan saya untuk berdiri dan bertahan. Tidak melibatkan materi, tapi pemikiran dan perasaan. Bukan cinta, teman atau keluarga. Tapi situasi yang sedang saya jalani sekarang, lebih pada personal, batu masalah yang saya temui semakin besar walaupun tidak terasa keberadaannya.
Di satu sisi saya merasa seperti anak kecil cengeng yang tidak tahu terima kasih pada Tuhan YME, namun sisi keegoisan naluri kemanusiaan saya terus bicara dan semakin lemah. Sungguh tidak tahu diri. Astaghfirullah.

Menjadi kelompok baru yang invisibly terasingkan, sungguh benar-benar tidak menyenangkan. Dianggap aneh karena kami tidak menguasai satu atau dua hal. Padahal hanya masalah waktu dan penyesuaian diri, yang bersangkutan tahu persis tapi tetap mencari celah untuk menyudutkan. Tidak ada yang salah dengan karakter manusia, tugas kita untuk dapat bertahan hanyalah mengerti. Tetapi insan pun tetap butuh untuk dimengerti. Ingin rasanya saya berteriak, “Kami ada dan bisa!”.
Tembok besar yang selama ini menahan saya untuk tidak menangisi hal-hal duniawi akhirnya perlahan mulai runtuh, ya, saya menangis. Hanya karena masalah kecil ini, cengeng benar diri ini. Konflik batin ini entah sampai kapan saya harus berperang sampai saya bisa mengalahkannya. Selama saya masih punya orangtua untuk mendukung, teman-teman yang luar biasa baik untuk saling mendengarkan dan menyemangati, saya akan terus bertahan hingga tembok itu terbangun lebih kokoh, lebih kuat dan lebih tegar.

Doa hamba ya Allah, kuatkanlah hamba, bimbing hamba untuk mengenal sekitar lebih baik, didampingi oleh orang-orang beriman yang dapat saling menguatkan, serta dekatkanlah hamba dengan-Mu. Jadikan cinta hamba ini seperti besarnya cinta nabi Muhammad, nabi Ibrahim dan nabi Ismail kepada-Mu. Amiin.

Sabtu, 21 April 2012

Thoughts

Fiuhh… it has been a long time since the last time I wrote here.
So… Pagi ini, di Pare, saya bersama beberapa teman kos saya pergi jalan-jalan ke alun-alun Pare untuk sekedar sarapan dan refresh pikiran. Sepanjang perjalanan berangkat dari kos sampai tiba di kos lagi pikiran saya dipenuhi oleh banyak hal dan pengetahuan. Makanya kali ini saya menulis apa yang ada di pikiran saya dari perjalanan tersebut.

Thought #1
Hmm… segar sekali menghirup udara pagi Pare yang masih sepi, bersepeda menyusuri beberapa jalan di Pare menuju ke suatu tempat.

Thought #2
Wah, ternyata ada juga tempat seperti ini di Pare… Di jalan Sudirman, saya melihat toko Brownies Amanda, Chicken Amazy, Apollo (Department Store), dan alun-alun. Selama ini yang saya tahu tentang Pare hanya jalan Brawijaya yang standar dan terkesan agak jauh dari peradaban kecuali bahasa Inggris.

Thought #3
Rame juga ya alun-alun Pare, tapi tetep yang berkunjung kebanyakan siswa/mahasiswa/calon siswa/calon mahasiswa/jobseeker alias jobless person yang belajar bahasa inggris disini. Mereka semua banyak antri di samping penjual susu kedelai, nasi pecel, lontong sayur, nasi kuning, batagor sampai sate bekicot!!! Catat: B.E.K.I.C.O.T. aka bekicot, sudara-saudara…
(Oh, can you imagine yourself eat that things????)
Anyway, makan nasi pecel disini enak juga, sambil menikmati pemandangan orang-orang berinteraksi, anak2 kecil bermain-main, gelandangan tidur di sudut-sudut, sambil menceritakan pengalaman jaman kuliah dulu (saya, Mbak Indah dan Mbak Ida).

Thought #4
Let’s go to Pare traditional market, sightseeing sambil tau seperti apa sih pasar Pare?
Tidak berbeda jauh dengan pasar-pasar di tempat lain ternyata, kami menyusuri sedikit bagian dari pasar Pare. “Wah, ada kedondong!” kata Mbak Indah. Kami berhenti, Mbak Indah memilih-milih buah kedondong yang ingin dia beli. Saya menyaksikan, seorang ibu paruh baya membeli cabai-cabai busuk dari pedagang kedondong itu. Adalah pemandangan yang sangat baru untuk saya, mulut saya menganga dan tidak mau tertutup. Buat apa itu cabai busuk? Mbak Ida dengan kalemnya menjawab, “Buat dijual, dibuat sambel.”
What??? Ternyata selama ini… *shock berat*
Saya mencoba untuk menghafal muka si ibu pembeli cabe, dengan harapan saya tidak akan pernah makan di tempatnya. Mbak Ida menambahkan, it can be worse, in some sauce factories, the incapable one, they use bad papaya and bad banana and mix it with bad chilies, too…
I swear to myself, I won’t eat infamous sauce anymore. I swear…

Thought #5
Ahh, sampai juga di kos. Turned on the television and watch some latest news before we’re going back to our room. Ah, Innalillahi wa innailaihi roji’un, Indonesia lose another kind, humble and low profile public figure. Bapak Widjojono, wakil menteri ESDM, selamat jalan pak, semoga amal ibadahnya senantiasa diterima disisi Allah SWT. Your name will always be remembered by those who remember your kindness…

Thought #6
Bosan, lihat acara televisi yang jam segini masih didominasi oleh acara-acara music alay dan lebay itu. Turned off the television and went back to our room. While I was walking through the room to my bedroom, I saw my boarding house’s daughter watching that kind of show: DahSyat. Saya mengintip sebentar, mata saya terbelalak melihat audience yang rata-rata masih ABG, kucel, labil, muda dan masih bau kencur. Menari-nari dan teriak-teriak tidak jelas apa yang diteriakkan yang penting teriak biar rame. Oh God! Another unbelievable scene for me. Bener juga yang dikatakan Raditya Dika, mungkin si audience adalah para remaja yang tidak sekolah, bekerja sebagai pembantu atau pedagang di ibukota, kerjaan beres, majikan pergi, mereka cabut buat nebeng nampang di televisi. Mereka dibayar untuk tetap datang ke acara tersebut memeriahkan acara yang sampai saat ini saya bingung dan tidak tahu apa manfaatnya untuk saya nonton acara itu.
Aah, sudahlah, biarkan mereka tenggelam dan menikmati masa alay-nya.

Thought #7
Ah, I’m sleepy… but I have several things to do, take a nap sebentar baru mulai aktivitas lagi deh…

Okay, that’s it… keep your Sunday spirit!

Regard…^^

Kamis, 22 Maret 2012

Untitled

If you think you are beaten, you are.

If you think you dare or not, u don't.

If you want to win but think you can't, it's almost a cinch u won't.

if you think you will lose, you are lost.

For out of the world we find success begins with a fellow's mind.

Its all in a state of mind.

Life's battles don't always go to the stronger and faster man.

But sooner or later the man who wins is the man who thinks he can.


Nur Rachmawati H.
my best friend

Jumat, 16 Maret 2012

Dear Mba Chacha, Congratulation (^v^) and Good Bye (T_T)…


Yeay!! Akhirnya… Pada hari ini, Kamis, 15 Maret 2012 Mba Cha diwisuda (disumpahin jadi apoteker, hehe…). Wah… selamat ya Mba Cha ku sayang… sekarang udah resmi jadi apoteker. Obat obat obat… *gaya penjual obat*

Setelah bertahun-tahun belajar mati-matian, ratusan buku sudah dijelajahi, keringat bercucuran, mengorbankan banyak jam tidur, waktu istirahat dan jam mandi(?), serta tekanan dan tuntutan yang semuanya berakibat pada fluktuatifnya perubahan berat badan Mba Cha, saatnya menikmati buah dari semua jerih payah itu (lebay banget ya?). 

(karena sesuatu hal, foto-foto belum bisa ditampilkan nih...)

Mba Cha, there are so many things I want to tell you, but since I’m shy, hehe… I just wrote it here. Please read this sincerely…

 
A little letter for my beloved Mba Hafsyah Zahara

Hari ini semua pengorbanan Mba Cha terbayar.

Hari ini semua pengorbanan Mba Cha dibuktikan oleh beberapa helai kertas berharga. 

Hari ini adalah tanda penghargaan untuk orang tua Mba Cha yang telah mendidik putrinya dengan luar biasa hebatnya. 

Hari ini sudah bertambah satu gelar lagi dibelakang nama Mba Cha.

Dan, mulai dari hari ini lembaran baru kehidupan Mba Cha dengan segudang tanggung jawab dan amanah yang lebih besar telah dimulai.

Perjalanan di depan masih panjang dan mungkin akan lebih melelahkan lagi, masih banyak mimpi dan harapan yang ingin Mba Cha capai. 

Mba Cha, gerbang itu sudah terbuka semakin lebar… Genggaman orangtua untuk tangan Mba Cha sudah semakin longgar. Berjalanlah tanpa tertatih, berlarilah tanpa terjatuh, terbanglah seakan sayap Mba Cha tidak akan pernah lelah mengepak. 

Disana Mba Cha, di hamparan itu… Mimpi-mimpi itu sudah menanti untuk Mba Cha raih… Mungkin sekarang terlihat sedikit samar dan berkabut, tapi doa dari orang tua, keluarga, sahabat, teman-teman dan perjuangan Mba Cha sendiri akan membuatnya semakin jelas dan dekat. 

Terus semangat dan tetap istiqomah menjadi pribadi Mba Cha yang kami kenal: seorang wanita yang kuat, cerdas, tegar, ikhlas dan penyayang.

We love you Mba Cha…

Semoga sukses dan teraih semua mimpi-mimpimu… Amiin…


From: Ninis
Yang tidak pernah berhenti berterima kasih untuk Mba Cha,
Atas semua ilmu, pengalaman dan kenangan yang diberikan oleh Mba Cha