Rabu, 12 Juni 2013

Sepenggal Kisah Perjalanan Kemarin

Bukan, ini bukan laporan praktek lapangan atau sejenisnya. Bukan juga mengungkap tabir yang selama ini ditutup rapat. Bukan juga sok kritis menilai realita yang ada mengenai masyarakat Indonesia. Hanya simpati dari saya, sebagai penduduk Indonesia juga.

Oke, begini ceritanya...
Beberapa hari lalu saya bersama teman2 kuliah saya mengadakan studi lapangan ke suatu daerah di luar pulau Jawa. Bermaksud untuk mencari tahu kondisi sosial ekonomi petani garam, yang merupakan pekerjaan utama masyarakat disana. Dua hari survey, wawancara dg masyarakat setempat, menginjak langsung sawah garam dan rumput laut, beramah tamah dengan warga dan mahasiswa KKN yg ada disana. Pengalaman yang sungguh menyenangkan.

Hasil dari survey selama 2 hari tersebut, saya dan teman2 dekat, secara intern menarik kesimpulan bahwa:

Warga desa sini meskipun bekerja sebagai buruh petani garam, tapi punya banyak pekerjaan lain, sehingga berpenghasilan cukup bahkan berlebih.

Yaa satu dua hal hasil dari pengamatan kami disana mengantarkan kami pada kesimpulan diatas.
Mereka cukup makmur atau sejahtera (dari hasil wawancara), meskipun kondisi rumah tidak demikian.

Ternyata banyak ditemukan kejanggalan. Terutama hal ini disampaikan oleh dosen kepala prodi saya. Beliau yang kebetulan sedang tidak sehat kala itu, hanya dapat menunggui kami di sisi pematang sawah garam bersama dengan seorang Bapak, mantan petani garam. Dari situlah terungkap kisah memilukan petani garam. Saya tegaskan sekali lagi, ini bukan pengeksposan dari apapun. Saya hanya bersimpati dan ingin berbagi dengan kawan semua.

Bapak itu yang berbincang dengan dosen saya, sebut saja bapak A, adalah mantan petani garam yang terbilang sukses. Bapak A dulunya memiliki lahan sawah garam, tapi "terusir" karena lahan sempit dan "ditekan" oleh perusahaan milik negara (tidak usah dibahas ya..) :)
Bapak A kemudian melanjutkan, dulu hidupnya sebagai petani, atau lebih tepatnya buruh petani garam, mengalami kehidupan yang begitu sulit, makan enak dulu hanya dalam mimpi. Semua serba kurang dan nasib mereka sama sekali tidak diperhatikan.
Karena tekanan yang ada, akhirnya si Bapak merantau ke Jawa, membangun bisnis sendiri berupa bisnis kapal-kapal untuk nelayan. Singkat cerita, bisnis berkembang, si Bapak sukses. Orangtuanya di kampung kemudian jatuh sakit dan meminta Bapak A, kembali ke kampungnya. Sekembalinya, keadaan disana tidak banyak berubah, bahkan bertambah buruk. Karena perusahaan milik negara tadi memiliki antek-antek perangkat desa untuk menekan penduduk setempat agar tidak frontal menghancurkan misi mereka demi keuntungan mereka sendiri.

Kejanggalan lain adalah karena target responden kami sudah ditentukan dari perangkat desa (yang bisa jadi antek perusahaan milik negara tadi). Responden adalah warga petani garam yang semuanya mungkinmerupakan antek perusahaan tersebut. Wajar saja jika begitu, hasil penelitian kami menjadi seragam: petani garam disana sukses dan sejahtera. Padahal dari satu narasumber (Bapak A) itu saja terungkap fakta yg begitu jauh berbeda. Sungguh miris. 

Setelah diceritakan sang dosen, dipikir2 berulang kali, dihubungkan dengan hasil survey, kok ya banyak yang aneh. Tidak perlu lah saya bahas satu-satu, yang ingin saya tekankan hanyalah keprihatinan saya akan nasib buruh petani garam disana, yang kerjanya begitu keras, namun ikhlas menerima apapun dari atasan, selama mereka tidak kehilangan pekerjaan. (Oooohh~ tuh kan berkaca-kaca.. T_T)

Sekali lagi, tidak bermaksud mengusik "kedamaian" yang sudah tercipta, hanya bersimpati sebagai penduduk Indonesia. Peace yaaa.. :)
Saya hanya berharap, perusahaan yang katanya milik negara tersebut supaya lebih memperhatikan nasib-nasib buruh petani garam disana, tidak hanya mementingkan keuntungan, proses atau kualitas produksi, atau seberapa luas lahan garapan mereka, atau kualitas garam Indonesia, atau apapun itu. Buka hati untuk mereka yang terbelenggu :'(
Semoga Indonesia bisa lebih baik lagi :')

aamiin :')

28052013

Sabtu, 18 Mei 2013

The Place I Should Be


Huaaa >,<

Udah lama banget gak nulis di blog. Yaa selain menghindari adanya kemungkinan saya galau di blog, juga karena selama ini saya sibuk dengan kegiatan-kegiatan. Ahaha.. Sebenernya bisa2 aja nulis saat sibuk, tp karena kemarin saya lagi gak enjoy dg apa yg saya lakukan, jadi saya menghindari menulis.

Nah, itulah sedikit alasan mengenai mengapa saya tidak pernah ngeblog akhir2 ini. Dan hari ini saya lagi mood banget nulis, ditemani hujan, langit mendung, perut kenyang setelah ‘ngemil’ bakso jumbo MM, dan musik instrumental dari Yiruma, pianis jenius dengan lagunya “River Flows in You”. Wow... Mood: UP! UP! UP! (>v< )

Apa yang saya tulis kali ini adalah hasil dari renungan dan belajar saya di tempat baru. Mungkin terdengar tidak begitu penting, namun bagi saya hal ini adalah ‘mini’ turning point. Why? Let me explain.. J

Pertama, ada hubungannya dengan pernyataan diatas, dimana saya katakan: saya tidak enjoy dengan apa yang sedang saya lakukan. Betul sekali, begitu kuliah di lingkungan baru, secara drastis pribadi saya berubah. Yaa.. diakui, ada hal positif dan negatifnya. Positifnya saya sekarang jadi pribadi yang kritis, saya suka membaca, ingin tahu saya semakin besar, kompetitif, ingin selalu unggul, apa saja saya baca, tidak mudah menelan mentah-mentah informasi, dan banyak pelajaran hidup lain yang membuat saya merasa ‘lebih’ dari yang sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu dipengaruhi oleh lingkungan. Orang-orang di sekitar saya saat ini memang seperti itu, entah bagaimana saya ter-influence dg hal itu, tp saya merasakan betul manfaatnya. Jadi hal tersebut merupakan list yang selalu saya syukuri ketika saya berdoa. J Alhamdulillah

Negatifnya, saya lebih blak-blakan, apa yang tidak disuka langsung saya ungkapkan, saya selalu mencari pembenaran dari apa yang dikatakan. Inilah yang selalu saya khawatirkan. Saya merasakan dampak negatif darinya. Selalu memandang rendah siapapun yang tidak saya suka, duh.. padahal hal ini jelas ditentang dalam Islam. Astaghfirullah L

Untuk itu, saya ingin terus belajar, memperbaiki diri, meningkatkan kualitas diri tanpa melukai orang lain. Hanya itu.

Dalam keadaan seperti itu, suatu hari, saya diajak oleh seorang teman menghadiri acara Tabligh Akbar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kala itu, saya tidak peduli siapapun yang mengisi tabligh akbarnya, yang penting saya dapat siraman rohani. Saya orang yang terhitung kurang rajin mengikuti acara semacamnya, karena saya sering cepat merasa bosan dan monoton mengikuti acara tersebut. But that day, I felt really good, I felt like I should come no matter what. Dan Yes, Alhamdulillah Allah menunjukkan jalan bagi saya untuk memperbaiki diri. Kala itu tabligh akbarnya diisi oleh seorang Ustadz muallaf, Felix Y. Siauw. Dan itu menjadi awal dari apa yang saya bilang “mini” turning point… J

Awalnya sama sekali saya tidak tahu menahu siapa itu Felix Siauw? Muallaf berapa lama bisa isi tabligh akbar? Bagus gak ceramahnya, kalo gak bagus saya akan langsung pergi. Nah… keliatan kan bagaimana rendahnya saya dalam menilai orang kala itu?

Singkat cerita, sang ustadz begitu keren dalam menyampaikan materi, saya tegaskan, bukan orangnya, tapi materi dan kualitas bahasannya. Benar-benar bikin saya terpesona, terkaget-kaget oleh setiap fakta yang diungkapkan beliau. Begitu menggebu-gebu apa yang diutarakannya. Saat itu ustadz menyampaikan materi “Muhammad Al Fatih”. Apa yang diungkapkan beliau membuat hati saya bergetar dan berkata dalam hati:

Ya Allah, berapa tahun saya hidup di dunia, berapa lama saya diajarkan Pendidikan agama, saya lahir di lingkungan beragama Islam, lahir di Negara yang begitu mudahnya saya beribadah, mengapa saya tidak tahu apapun tentang Islam?

Tidak sengaja air matapun mulai menetes, kala itu. Sadar, begitu jauhnya saya dengan Allah, begitu jauhnya saya dengan tanda-tanda dan kebaikan Allah. Saya merasa terpukul, tapi di saat yang sama juga semakin penasaran dengan Islam. Saya ingin belajar lebih jauh, terutama dari ustadz muallaf ini. Cara menyampaikannya tidak biasa, membuka hati dan pikiran, tidak sama dengan siapapun yang pernah saya temui. Beliau lugas dan tegas, itulah kekhasannya. Esoknya saya mengikuti pengajian khusus muslimah yang juga diisi oleh beliau. Meskipun dalam menyampaikan materi begitu menggebu, hal yang saya ingat, dari beberapa hal lain yaitu: ketika ada seorang ibu2 dosen yang menyatakan ketidaksetujuannya dg apa yang dikatakan oleh ust.FS, beliau dengan santainya menjawab: “waow, emosional sekali bu” membuat semua hadirin tertawa. Kemudian beliau menjawabnya dengan penuh ketenangan, logis, tapi juga tetap pada perkataan awalnya, tidak goyah, tidak mudah dipatahkan. J

Saya kenang terus apa yang disampaikan oleh beliau, sehingga saya aktif mencari tahu ttg beliau, blog, fb dan twitter saya ikuti, saya tidak ingin ketinggalan dalam memperoleh ilmu beliau. Karena beliau begitu aktif, pernah saya sampai kewalahan mengikuti aktivitasnya di jejaring sosial. Hingga saat ini masih saya belajar dari beliau, saya belajar kritis juga dari beliau, belajar bahwa informasi apapun yang kita terima jangan ditelan mentah2, jangan ikut2, jadilah muslim yang syar’I, yang kuat meskipun diserang kekuatan liberal barat, menyatukan ukhuwah dan terus memperbaiki kualitas diri. Itulah sedikit dari apa yang saya peroleh.

Benar-benar inilah turning point saya yang pertama. Ya, agama. Saya ingin memperbaiki diri saya melalui agama. Melalui jejaring media social pula lah saya sharing apa yang saya dapat, murni karena saya ingin teman2 pun belajar banyak, tahu banyak, dan kritis. Seorang teman yang selalu mengamati tingkah polah saya di socmed, sampai memanggil saya “kayak ustadzah”. Padahal bukan itu maksud dan esensinya. Murni karena saya ingin orang lain tahu. Itu saja, tidak ada pencitraan diri atau apapun. Malu lah saya dipanggil “kayak ustadzah” padahal ilmu saya masih ceteeeeekkkkk secetek-ceteknya, belum sepenuhnya saya syar’i dalam penampilan, walau niat sudah ada. Malu lah saya pada teman2 akhwat/ikhwan lainnya dipanggil begituan padahal apa yang saya pelajari tidak seberapa dibanding mereka. Entahlah. Niat saya murni kok. Tanpa maksud pencitraan. Insya Allah, dan semoga selalu istiqomah J aamiin

Kedua, saya belajar melihat sekeliling lebih jeli. Di tempat kuliah dulu, memang semua serba difasilitasi mengingat tempat saya kuliah dulu adalah universitas nomor satu se-indonesia berdasarkan survey beberapa lembaga tertentu. Begitu mudah perjalanan saya disitu, hingga saya menjadi pribadi yang terkungkung, malas dan sama sekali tidak kritis. Yaaa… karena semua serba difasilitasi itu, jalan sudah diaspal, kertas begitu bersih, saya tinggal berjalan dan menggambar sebebasnya. Namun semua itu berakhir ketika saya berkuliah di tempat baru.

Pada awalnya, saya begitu... ah, sick of this, tired of that, I don’t want to, dan lain-lain, saya perlahan jadi pribadi yang pemarah dan emosional. Keadaan begitu memojokkan, mengikat, begitu rendah dan murahan. Saya yang terbiasa dengan “jalan mulus” serta “kertas bersih” dihadapkan pada “jalan berbatu beriku” dan “kertas lusuh bekas” yang membuat saya begitu frustasi. Saya begitu idealis mempertahankan apa yang saya pegang, namun hasilnya nol, mengecewakan, tidak menyenakan. Saya kaku dan hopeless, berada dalam sistem yang begitu rumit dan sulit. Saya begitu benci dengan semuanya.

Namun tak disangka, keadaan seperti itu justru membuat saya melakukan gebrakan, melawan, berjuang, dan semakin jeli membaca karakter orang.

Dan sekarang, saya lebih santai, lebih fleksibel, meskipun saya akui ke-idealis-an saya masih ada. Mungkin inilah cara Allah mengembalikan saya ke jalan yang benar, saya ditegur sakit selama kurang lebih 4 minggu (mungkin ini rekor paling lama saya sakit). Allah ingin saya bertaubat, Allah ingin saya memohon ampunannya, dan semoga itu yang selalu saya lakukan. Betul, kerinduan saya akan kebenaran adalah yang akhirnya saya sebut “mini” turning point. Semoga Allah selalu menyertai saya dalam belajar, meridhoi, dan menjadikan saya pribadi yang baik dan berkualitas. aamiin J

Inilah, mungkin, cara Allah menunjukkan saya tempat dimana seharusnya saya berada, the place I should be J



Selasa, 09 Oktober 2012

Memories of Fruits #1


Hihi, saya suka senyum-senyum sendiri kalau mengingat kenangan saya akan buah-buahan. Yup, seperti judulnya, tanpa ada makna konotasi atau sejenisnya, yang saya maksudkan benar-benar karena ingatan saya terhadap buah-buahan. I thought it pretty interesting stories to be told.
Lahir di lingkungan masyarakat yang hobi bertanam, dan besar di daerah pedesaan membuat persepsi saya terhadap jenis buah-buahan berbeda dan relatif unik. Kakek (alm) dari ibu saya adalah seorang guru yang hobi bercocok tanam. Di pekarangan kakek saya tumbuh cengkeh, rambutan, anggur, alpukat, pisang, pepaya, jambu, tanaman-tanaman obat, mangga dan tanaman bermanfaat lainnya. Begitu pula kakek dari ayah saya yang seorang petani, beliau sampai sekarang masih menggarap sawah, mengurus pohon mangga, pohon melinjo dan kelapa di sekitar pekarangannya. Saya tumbuh menjadi cucu yang hanya mengenal jenis-jenis buah-buahan tersebut.

And the story goes. Stroberi menjadi salah satu buah favorit saya. Yang mana stroberi (tulisan Indonesia banget), adalah buah yang tidak pernah saya makan dari kecil. Maklumlah, saya dulu tinggal di kampung daerah pantai, wajar saja kalau tidak ada stroberi disana. Saya selalu merengek2 minta dibelikan stroberi oleh orangtua saya. Entah karena alasan stroberi saat itu terlalu mahal atau memang susah didapat, orangtua saya tidak pernah membelikannya. Saya hanya bisa berharap agar suatu saat bisa menemukannya di jalan, dan langsung memakannya. 

Dulu sangat populer film Jinny Oh Jinny, Jin dan Jun dan sinetron yang berbau sihir dan khayalan. Saat itu saya berharap untuk bisa bertemu dengan om Jin atau Jinny dari lampu ajaib, minta dikabulkan permintaan saya untuk bertemu buah idaman saya itu. Bahkan saya pernah mengambil batu kali dan menekannya di kedua telapak tangan saya sambil berdoa, “Ya Allah, ubahlah batu ini menjadi stroberi”. Ya betul, it’s indeed an absurd thing I’ve ever done.

Kemudian, apel. Apel hijau sering saya makan ketika saya ikut ibu saya belanja ke warung. Apel hijau mahal seharga 300-500 rupiah itu sering saya makan. Tapi apel merah… wah jangan ditanya, dulu saya sangat berharap bisa memakannya tiap hari. Ada cerita menarik, waktu SD saya sempat dimusuhi teman gara-gara apel merah. Dan memusuhi saya adalah dua sahabat dekat waktu itu. #ohh~
Suatu hari ketika saya sedang duduk di depan kelas dengan dua orang sahabat saya itu, saya didekati teman laki-laki saya yang membawa apel merah. Dia bermaksud untuk meminjam cutter saya untuk memotong apel merahnya, wah senang bukan main saya. Langsung berlari ke kelas, ambil cutter dan pergi ke toilet untuk membersihkannya.
Saya berikan cutternya, kemudian teman lelaki itu mulai memotong apel dengan hati-hati dan penuh perhitungan, lama sekali sampai daging apel berwarna kecoklatan, lalu memberikan sebagian potong kecil apelnya untuk saya. Sambil humming dan riang saya kembali ke depan kelas dan dengan polosnya menawarkan apel yang saya cintai itu pada dua sahabat saya.
Si sahabat satu dengan sinisnya berkata sambil berlalu: “Huh, apel doang seneng banget, aku udah sering kok makan di rumah, bisa beli sendiri lagi”.
Jedheerrr!!!
Hancurlah hati gadis kecil yang polos dan tidak tahu apa-apa itu (baca: saya). Kenapa pula tuh dua orang menghancurkan fantasi saya dengan si apel merah cantik itu, dengan perkataan yang secara tersirat mengandung makna “Kampungan banget sih lu…” huhu, dengan mata berkaca-kaca saya makan apel yang rasanya jadi pahit dan mengikuti mereka pergi. Kenangan pahit dengan buah apel merah yang seharusnya terasa manis, untungnya saya tidak mengalami trauma untuk makan apel merah. Syukurlah… (_TvT_)

Okay, that’s it for now. I’ll tell you next time for sure, since I have so many more to tell… :D

Regard

Minoritas


Ya Allah, hamba bersyukur, selalu bersyukur. Dengan segala nikmat duniawi ini, nikmat sehat, nikmat rahmat, nikmat rejeki, nikmat keluarga yang baik dan segala nikmat dari-Mu. Alhamdulillah…
Berusaha untuk menghindari sikap mengeluh, hamba mencoba untuk menjalankan kehidupan ini dengan penuh syukur dan melakukan suatu apapun dengan mengingat nama-Mu. Tiada tempat bagi hamba untuk mengadu selain pada-Mu. Maka ampunilah hamba yang penuh dosa ini ya Allah.

Let’s put it aside first. Seperti yang telah saya katakan, tanpa bermaksud mengeluh, atau mendustakan nikmat-Nya, saya hanya ingin bercerita dan mengungkapkannya dalam sebuah tulisan sederhana.
Kehidupan dunia memang berat, oleh karenanya saya selalu rindu pada Tuhan, pada agama yang saya peluk, hal yang satu-satunya bisa membuat saya tenang dan terarah. Seandainya kematian itu datang, tidak bermaksud apa-apa, saya ikhlas dan siap untuk bertemu dengan peradilan-Nya. Bukan karena saya menghindari kehidupan dunia yang serba berat, dan bukan pula karena keangkuhan percaya diri saya akan masuk surga. Sekali lagi, karena saya rindu pada-Nya. Subhanallah.
Sekarang ini saya sedang diuji, secara batin dan keikhlasan saya dalam menjalankan kehidupan ini. Berbagai macam hal yang terjadi akhir-akhir ini, melemahkan kekuatan saya untuk berdiri dan bertahan. Tidak melibatkan materi, tapi pemikiran dan perasaan. Bukan cinta, teman atau keluarga. Tapi situasi yang sedang saya jalani sekarang, lebih pada personal, batu masalah yang saya temui semakin besar walaupun tidak terasa keberadaannya.
Di satu sisi saya merasa seperti anak kecil cengeng yang tidak tahu terima kasih pada Tuhan YME, namun sisi keegoisan naluri kemanusiaan saya terus bicara dan semakin lemah. Sungguh tidak tahu diri. Astaghfirullah.

Menjadi kelompok baru yang invisibly terasingkan, sungguh benar-benar tidak menyenangkan. Dianggap aneh karena kami tidak menguasai satu atau dua hal. Padahal hanya masalah waktu dan penyesuaian diri, yang bersangkutan tahu persis tapi tetap mencari celah untuk menyudutkan. Tidak ada yang salah dengan karakter manusia, tugas kita untuk dapat bertahan hanyalah mengerti. Tetapi insan pun tetap butuh untuk dimengerti. Ingin rasanya saya berteriak, “Kami ada dan bisa!”.
Tembok besar yang selama ini menahan saya untuk tidak menangisi hal-hal duniawi akhirnya perlahan mulai runtuh, ya, saya menangis. Hanya karena masalah kecil ini, cengeng benar diri ini. Konflik batin ini entah sampai kapan saya harus berperang sampai saya bisa mengalahkannya. Selama saya masih punya orangtua untuk mendukung, teman-teman yang luar biasa baik untuk saling mendengarkan dan menyemangati, saya akan terus bertahan hingga tembok itu terbangun lebih kokoh, lebih kuat dan lebih tegar.

Doa hamba ya Allah, kuatkanlah hamba, bimbing hamba untuk mengenal sekitar lebih baik, didampingi oleh orang-orang beriman yang dapat saling menguatkan, serta dekatkanlah hamba dengan-Mu. Jadikan cinta hamba ini seperti besarnya cinta nabi Muhammad, nabi Ibrahim dan nabi Ismail kepada-Mu. Amiin.

Sabtu, 21 April 2012

Thoughts

Fiuhh… it has been a long time since the last time I wrote here.
So… Pagi ini, di Pare, saya bersama beberapa teman kos saya pergi jalan-jalan ke alun-alun Pare untuk sekedar sarapan dan refresh pikiran. Sepanjang perjalanan berangkat dari kos sampai tiba di kos lagi pikiran saya dipenuhi oleh banyak hal dan pengetahuan. Makanya kali ini saya menulis apa yang ada di pikiran saya dari perjalanan tersebut.

Thought #1
Hmm… segar sekali menghirup udara pagi Pare yang masih sepi, bersepeda menyusuri beberapa jalan di Pare menuju ke suatu tempat.

Thought #2
Wah, ternyata ada juga tempat seperti ini di Pare… Di jalan Sudirman, saya melihat toko Brownies Amanda, Chicken Amazy, Apollo (Department Store), dan alun-alun. Selama ini yang saya tahu tentang Pare hanya jalan Brawijaya yang standar dan terkesan agak jauh dari peradaban kecuali bahasa Inggris.

Thought #3
Rame juga ya alun-alun Pare, tapi tetep yang berkunjung kebanyakan siswa/mahasiswa/calon siswa/calon mahasiswa/jobseeker alias jobless person yang belajar bahasa inggris disini. Mereka semua banyak antri di samping penjual susu kedelai, nasi pecel, lontong sayur, nasi kuning, batagor sampai sate bekicot!!! Catat: B.E.K.I.C.O.T. aka bekicot, sudara-saudara…
(Oh, can you imagine yourself eat that things????)
Anyway, makan nasi pecel disini enak juga, sambil menikmati pemandangan orang-orang berinteraksi, anak2 kecil bermain-main, gelandangan tidur di sudut-sudut, sambil menceritakan pengalaman jaman kuliah dulu (saya, Mbak Indah dan Mbak Ida).

Thought #4
Let’s go to Pare traditional market, sightseeing sambil tau seperti apa sih pasar Pare?
Tidak berbeda jauh dengan pasar-pasar di tempat lain ternyata, kami menyusuri sedikit bagian dari pasar Pare. “Wah, ada kedondong!” kata Mbak Indah. Kami berhenti, Mbak Indah memilih-milih buah kedondong yang ingin dia beli. Saya menyaksikan, seorang ibu paruh baya membeli cabai-cabai busuk dari pedagang kedondong itu. Adalah pemandangan yang sangat baru untuk saya, mulut saya menganga dan tidak mau tertutup. Buat apa itu cabai busuk? Mbak Ida dengan kalemnya menjawab, “Buat dijual, dibuat sambel.”
What??? Ternyata selama ini… *shock berat*
Saya mencoba untuk menghafal muka si ibu pembeli cabe, dengan harapan saya tidak akan pernah makan di tempatnya. Mbak Ida menambahkan, it can be worse, in some sauce factories, the incapable one, they use bad papaya and bad banana and mix it with bad chilies, too…
I swear to myself, I won’t eat infamous sauce anymore. I swear…

Thought #5
Ahh, sampai juga di kos. Turned on the television and watch some latest news before we’re going back to our room. Ah, Innalillahi wa innailaihi roji’un, Indonesia lose another kind, humble and low profile public figure. Bapak Widjojono, wakil menteri ESDM, selamat jalan pak, semoga amal ibadahnya senantiasa diterima disisi Allah SWT. Your name will always be remembered by those who remember your kindness…

Thought #6
Bosan, lihat acara televisi yang jam segini masih didominasi oleh acara-acara music alay dan lebay itu. Turned off the television and went back to our room. While I was walking through the room to my bedroom, I saw my boarding house’s daughter watching that kind of show: DahSyat. Saya mengintip sebentar, mata saya terbelalak melihat audience yang rata-rata masih ABG, kucel, labil, muda dan masih bau kencur. Menari-nari dan teriak-teriak tidak jelas apa yang diteriakkan yang penting teriak biar rame. Oh God! Another unbelievable scene for me. Bener juga yang dikatakan Raditya Dika, mungkin si audience adalah para remaja yang tidak sekolah, bekerja sebagai pembantu atau pedagang di ibukota, kerjaan beres, majikan pergi, mereka cabut buat nebeng nampang di televisi. Mereka dibayar untuk tetap datang ke acara tersebut memeriahkan acara yang sampai saat ini saya bingung dan tidak tahu apa manfaatnya untuk saya nonton acara itu.
Aah, sudahlah, biarkan mereka tenggelam dan menikmati masa alay-nya.

Thought #7
Ah, I’m sleepy… but I have several things to do, take a nap sebentar baru mulai aktivitas lagi deh…

Okay, that’s it… keep your Sunday spirit!

Regard…^^

Kamis, 22 Maret 2012

Untitled

If you think you are beaten, you are.

If you think you dare or not, u don't.

If you want to win but think you can't, it's almost a cinch u won't.

if you think you will lose, you are lost.

For out of the world we find success begins with a fellow's mind.

Its all in a state of mind.

Life's battles don't always go to the stronger and faster man.

But sooner or later the man who wins is the man who thinks he can.


Nur Rachmawati H.
my best friend