Rabu, 12 Juni 2013

Sepenggal Kisah Perjalanan Kemarin

Bukan, ini bukan laporan praktek lapangan atau sejenisnya. Bukan juga mengungkap tabir yang selama ini ditutup rapat. Bukan juga sok kritis menilai realita yang ada mengenai masyarakat Indonesia. Hanya simpati dari saya, sebagai penduduk Indonesia juga.

Oke, begini ceritanya...
Beberapa hari lalu saya bersama teman2 kuliah saya mengadakan studi lapangan ke suatu daerah di luar pulau Jawa. Bermaksud untuk mencari tahu kondisi sosial ekonomi petani garam, yang merupakan pekerjaan utama masyarakat disana. Dua hari survey, wawancara dg masyarakat setempat, menginjak langsung sawah garam dan rumput laut, beramah tamah dengan warga dan mahasiswa KKN yg ada disana. Pengalaman yang sungguh menyenangkan.

Hasil dari survey selama 2 hari tersebut, saya dan teman2 dekat, secara intern menarik kesimpulan bahwa:

Warga desa sini meskipun bekerja sebagai buruh petani garam, tapi punya banyak pekerjaan lain, sehingga berpenghasilan cukup bahkan berlebih.

Yaa satu dua hal hasil dari pengamatan kami disana mengantarkan kami pada kesimpulan diatas.
Mereka cukup makmur atau sejahtera (dari hasil wawancara), meskipun kondisi rumah tidak demikian.

Ternyata banyak ditemukan kejanggalan. Terutama hal ini disampaikan oleh dosen kepala prodi saya. Beliau yang kebetulan sedang tidak sehat kala itu, hanya dapat menunggui kami di sisi pematang sawah garam bersama dengan seorang Bapak, mantan petani garam. Dari situlah terungkap kisah memilukan petani garam. Saya tegaskan sekali lagi, ini bukan pengeksposan dari apapun. Saya hanya bersimpati dan ingin berbagi dengan kawan semua.

Bapak itu yang berbincang dengan dosen saya, sebut saja bapak A, adalah mantan petani garam yang terbilang sukses. Bapak A dulunya memiliki lahan sawah garam, tapi "terusir" karena lahan sempit dan "ditekan" oleh perusahaan milik negara (tidak usah dibahas ya..) :)
Bapak A kemudian melanjutkan, dulu hidupnya sebagai petani, atau lebih tepatnya buruh petani garam, mengalami kehidupan yang begitu sulit, makan enak dulu hanya dalam mimpi. Semua serba kurang dan nasib mereka sama sekali tidak diperhatikan.
Karena tekanan yang ada, akhirnya si Bapak merantau ke Jawa, membangun bisnis sendiri berupa bisnis kapal-kapal untuk nelayan. Singkat cerita, bisnis berkembang, si Bapak sukses. Orangtuanya di kampung kemudian jatuh sakit dan meminta Bapak A, kembali ke kampungnya. Sekembalinya, keadaan disana tidak banyak berubah, bahkan bertambah buruk. Karena perusahaan milik negara tadi memiliki antek-antek perangkat desa untuk menekan penduduk setempat agar tidak frontal menghancurkan misi mereka demi keuntungan mereka sendiri.

Kejanggalan lain adalah karena target responden kami sudah ditentukan dari perangkat desa (yang bisa jadi antek perusahaan milik negara tadi). Responden adalah warga petani garam yang semuanya mungkinmerupakan antek perusahaan tersebut. Wajar saja jika begitu, hasil penelitian kami menjadi seragam: petani garam disana sukses dan sejahtera. Padahal dari satu narasumber (Bapak A) itu saja terungkap fakta yg begitu jauh berbeda. Sungguh miris. 

Setelah diceritakan sang dosen, dipikir2 berulang kali, dihubungkan dengan hasil survey, kok ya banyak yang aneh. Tidak perlu lah saya bahas satu-satu, yang ingin saya tekankan hanyalah keprihatinan saya akan nasib buruh petani garam disana, yang kerjanya begitu keras, namun ikhlas menerima apapun dari atasan, selama mereka tidak kehilangan pekerjaan. (Oooohh~ tuh kan berkaca-kaca.. T_T)

Sekali lagi, tidak bermaksud mengusik "kedamaian" yang sudah tercipta, hanya bersimpati sebagai penduduk Indonesia. Peace yaaa.. :)
Saya hanya berharap, perusahaan yang katanya milik negara tersebut supaya lebih memperhatikan nasib-nasib buruh petani garam disana, tidak hanya mementingkan keuntungan, proses atau kualitas produksi, atau seberapa luas lahan garapan mereka, atau kualitas garam Indonesia, atau apapun itu. Buka hati untuk mereka yang terbelenggu :'(
Semoga Indonesia bisa lebih baik lagi :')

aamiin :')

28052013

Sabtu, 18 Mei 2013

The Place I Should Be


Huaaa >,<

Udah lama banget gak nulis di blog. Yaa selain menghindari adanya kemungkinan saya galau di blog, juga karena selama ini saya sibuk dengan kegiatan-kegiatan. Ahaha.. Sebenernya bisa2 aja nulis saat sibuk, tp karena kemarin saya lagi gak enjoy dg apa yg saya lakukan, jadi saya menghindari menulis.

Nah, itulah sedikit alasan mengenai mengapa saya tidak pernah ngeblog akhir2 ini. Dan hari ini saya lagi mood banget nulis, ditemani hujan, langit mendung, perut kenyang setelah ‘ngemil’ bakso jumbo MM, dan musik instrumental dari Yiruma, pianis jenius dengan lagunya “River Flows in You”. Wow... Mood: UP! UP! UP! (>v< )

Apa yang saya tulis kali ini adalah hasil dari renungan dan belajar saya di tempat baru. Mungkin terdengar tidak begitu penting, namun bagi saya hal ini adalah ‘mini’ turning point. Why? Let me explain.. J

Pertama, ada hubungannya dengan pernyataan diatas, dimana saya katakan: saya tidak enjoy dengan apa yang sedang saya lakukan. Betul sekali, begitu kuliah di lingkungan baru, secara drastis pribadi saya berubah. Yaa.. diakui, ada hal positif dan negatifnya. Positifnya saya sekarang jadi pribadi yang kritis, saya suka membaca, ingin tahu saya semakin besar, kompetitif, ingin selalu unggul, apa saja saya baca, tidak mudah menelan mentah-mentah informasi, dan banyak pelajaran hidup lain yang membuat saya merasa ‘lebih’ dari yang sebelumnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu dipengaruhi oleh lingkungan. Orang-orang di sekitar saya saat ini memang seperti itu, entah bagaimana saya ter-influence dg hal itu, tp saya merasakan betul manfaatnya. Jadi hal tersebut merupakan list yang selalu saya syukuri ketika saya berdoa. J Alhamdulillah

Negatifnya, saya lebih blak-blakan, apa yang tidak disuka langsung saya ungkapkan, saya selalu mencari pembenaran dari apa yang dikatakan. Inilah yang selalu saya khawatirkan. Saya merasakan dampak negatif darinya. Selalu memandang rendah siapapun yang tidak saya suka, duh.. padahal hal ini jelas ditentang dalam Islam. Astaghfirullah L

Untuk itu, saya ingin terus belajar, memperbaiki diri, meningkatkan kualitas diri tanpa melukai orang lain. Hanya itu.

Dalam keadaan seperti itu, suatu hari, saya diajak oleh seorang teman menghadiri acara Tabligh Akbar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kala itu, saya tidak peduli siapapun yang mengisi tabligh akbarnya, yang penting saya dapat siraman rohani. Saya orang yang terhitung kurang rajin mengikuti acara semacamnya, karena saya sering cepat merasa bosan dan monoton mengikuti acara tersebut. But that day, I felt really good, I felt like I should come no matter what. Dan Yes, Alhamdulillah Allah menunjukkan jalan bagi saya untuk memperbaiki diri. Kala itu tabligh akbarnya diisi oleh seorang Ustadz muallaf, Felix Y. Siauw. Dan itu menjadi awal dari apa yang saya bilang “mini” turning point… J

Awalnya sama sekali saya tidak tahu menahu siapa itu Felix Siauw? Muallaf berapa lama bisa isi tabligh akbar? Bagus gak ceramahnya, kalo gak bagus saya akan langsung pergi. Nah… keliatan kan bagaimana rendahnya saya dalam menilai orang kala itu?

Singkat cerita, sang ustadz begitu keren dalam menyampaikan materi, saya tegaskan, bukan orangnya, tapi materi dan kualitas bahasannya. Benar-benar bikin saya terpesona, terkaget-kaget oleh setiap fakta yang diungkapkan beliau. Begitu menggebu-gebu apa yang diutarakannya. Saat itu ustadz menyampaikan materi “Muhammad Al Fatih”. Apa yang diungkapkan beliau membuat hati saya bergetar dan berkata dalam hati:

Ya Allah, berapa tahun saya hidup di dunia, berapa lama saya diajarkan Pendidikan agama, saya lahir di lingkungan beragama Islam, lahir di Negara yang begitu mudahnya saya beribadah, mengapa saya tidak tahu apapun tentang Islam?

Tidak sengaja air matapun mulai menetes, kala itu. Sadar, begitu jauhnya saya dengan Allah, begitu jauhnya saya dengan tanda-tanda dan kebaikan Allah. Saya merasa terpukul, tapi di saat yang sama juga semakin penasaran dengan Islam. Saya ingin belajar lebih jauh, terutama dari ustadz muallaf ini. Cara menyampaikannya tidak biasa, membuka hati dan pikiran, tidak sama dengan siapapun yang pernah saya temui. Beliau lugas dan tegas, itulah kekhasannya. Esoknya saya mengikuti pengajian khusus muslimah yang juga diisi oleh beliau. Meskipun dalam menyampaikan materi begitu menggebu, hal yang saya ingat, dari beberapa hal lain yaitu: ketika ada seorang ibu2 dosen yang menyatakan ketidaksetujuannya dg apa yang dikatakan oleh ust.FS, beliau dengan santainya menjawab: “waow, emosional sekali bu” membuat semua hadirin tertawa. Kemudian beliau menjawabnya dengan penuh ketenangan, logis, tapi juga tetap pada perkataan awalnya, tidak goyah, tidak mudah dipatahkan. J

Saya kenang terus apa yang disampaikan oleh beliau, sehingga saya aktif mencari tahu ttg beliau, blog, fb dan twitter saya ikuti, saya tidak ingin ketinggalan dalam memperoleh ilmu beliau. Karena beliau begitu aktif, pernah saya sampai kewalahan mengikuti aktivitasnya di jejaring sosial. Hingga saat ini masih saya belajar dari beliau, saya belajar kritis juga dari beliau, belajar bahwa informasi apapun yang kita terima jangan ditelan mentah2, jangan ikut2, jadilah muslim yang syar’I, yang kuat meskipun diserang kekuatan liberal barat, menyatukan ukhuwah dan terus memperbaiki kualitas diri. Itulah sedikit dari apa yang saya peroleh.

Benar-benar inilah turning point saya yang pertama. Ya, agama. Saya ingin memperbaiki diri saya melalui agama. Melalui jejaring media social pula lah saya sharing apa yang saya dapat, murni karena saya ingin teman2 pun belajar banyak, tahu banyak, dan kritis. Seorang teman yang selalu mengamati tingkah polah saya di socmed, sampai memanggil saya “kayak ustadzah”. Padahal bukan itu maksud dan esensinya. Murni karena saya ingin orang lain tahu. Itu saja, tidak ada pencitraan diri atau apapun. Malu lah saya dipanggil “kayak ustadzah” padahal ilmu saya masih ceteeeeekkkkk secetek-ceteknya, belum sepenuhnya saya syar’i dalam penampilan, walau niat sudah ada. Malu lah saya pada teman2 akhwat/ikhwan lainnya dipanggil begituan padahal apa yang saya pelajari tidak seberapa dibanding mereka. Entahlah. Niat saya murni kok. Tanpa maksud pencitraan. Insya Allah, dan semoga selalu istiqomah J aamiin

Kedua, saya belajar melihat sekeliling lebih jeli. Di tempat kuliah dulu, memang semua serba difasilitasi mengingat tempat saya kuliah dulu adalah universitas nomor satu se-indonesia berdasarkan survey beberapa lembaga tertentu. Begitu mudah perjalanan saya disitu, hingga saya menjadi pribadi yang terkungkung, malas dan sama sekali tidak kritis. Yaaa… karena semua serba difasilitasi itu, jalan sudah diaspal, kertas begitu bersih, saya tinggal berjalan dan menggambar sebebasnya. Namun semua itu berakhir ketika saya berkuliah di tempat baru.

Pada awalnya, saya begitu... ah, sick of this, tired of that, I don’t want to, dan lain-lain, saya perlahan jadi pribadi yang pemarah dan emosional. Keadaan begitu memojokkan, mengikat, begitu rendah dan murahan. Saya yang terbiasa dengan “jalan mulus” serta “kertas bersih” dihadapkan pada “jalan berbatu beriku” dan “kertas lusuh bekas” yang membuat saya begitu frustasi. Saya begitu idealis mempertahankan apa yang saya pegang, namun hasilnya nol, mengecewakan, tidak menyenakan. Saya kaku dan hopeless, berada dalam sistem yang begitu rumit dan sulit. Saya begitu benci dengan semuanya.

Namun tak disangka, keadaan seperti itu justru membuat saya melakukan gebrakan, melawan, berjuang, dan semakin jeli membaca karakter orang.

Dan sekarang, saya lebih santai, lebih fleksibel, meskipun saya akui ke-idealis-an saya masih ada. Mungkin inilah cara Allah mengembalikan saya ke jalan yang benar, saya ditegur sakit selama kurang lebih 4 minggu (mungkin ini rekor paling lama saya sakit). Allah ingin saya bertaubat, Allah ingin saya memohon ampunannya, dan semoga itu yang selalu saya lakukan. Betul, kerinduan saya akan kebenaran adalah yang akhirnya saya sebut “mini” turning point. Semoga Allah selalu menyertai saya dalam belajar, meridhoi, dan menjadikan saya pribadi yang baik dan berkualitas. aamiin J

Inilah, mungkin, cara Allah menunjukkan saya tempat dimana seharusnya saya berada, the place I should be J