Reader,
tanggal 23 Januari lalu saya melakukan perjalanan ke Pare, Kediri. As you know, Pare is one of a place in
Kediri that known as its English Village.
Saya yang
sementara ini setengah jobless-setengah freelancer memutuskan untuk pergi
mengasah kemampuan bahasa inggris saya berguru pada ahlinya disana. Sambil
menunggu bukaan untuk melanjutkan studi S1 saya dari D3 di tahun ajaran
selanjutnya. Saya pikir, lumayan juga pergi ke Pare daripada nunggu di Jogja
selama 6 bulan cuma ngerjain proyek yang ga jelas kapan diberi honornya (curhat
colongan nih…). Atas dukungan dan doa
orangtua, saya pun memutuskan dengan mantap untuk pergi ke Kediri bersama salah
seorang sahabat saya.
Perjalanan
ke Kediri saya tempuh dengan menggunakan kereta api ekonomi berfasilitas angin
cepay-cepoy… Yuhu! Kediri we’re coming!
Waktu yang ditempuh dari stasiun Lempuyangan-Jogja sampai stasiun Kediri adalah
+/- 6 jam. Berangkat habis subuh, nyampe Kediri pas dhuhur.
Sepanjang
perjalanan yang saya lakukan adalah: ngobrol, ngemil, minum, buang air kecil,
nunjuk-nunjuk obyek ga jelas dari jendela, lirik-lirik barang jajaan penjual di
kereta tapi ga beli, menolehkan muka dari tatapan ‘ganas’ pedagang, pura-pura
tidur kalo ada pengamen, tidur beneran dan tidak berhenti bertanya ‘kapan
nyampe ya?’.
Rute keretanya
yaitu Jogja-Klaten-Solo-Sragen-Madiun-Nganjuk-Kertosono-Kediri. Lumayan bikin
pantat pegel-pegel, tapi masih kalah panjang dengan perjalanan Jogja-Cirebon.
Waktu sampai
di Madiun, saya teringat dengan salah seorang kakak tingkat saya di D3, sebut
saja Mas Re (nama sebenarnya-red). Beliau adalah orang asli Madiun. Dulu waktu
saya masih menjadi asisten praktikum di kampus, saya pernah mencetuskan ide
cemerlang pada beliau. Ide cemerlang yang membuat semua orang kala itu tertawa
terbahak-bahak atau dengan bahasa anak gaul saat ini adalah ngakak
guling-guling.
Reader tau
kan ada yang namanya goyang gayung? Dipopulerkan oleh salah satu iklan selluler
yang ceritanya model iklan tersebut jadi trendsetter untuk goyang orisinal-nya
–goyang gayung-, gara-gara diupload sama ibunya ke Youtube. Nah, ide yang saya
cetuskan kala itu adalah Mas Re juga bisa menciptakan goyang orisinal asli
Madiun. Yup! Apalagi kalo bukan Goyang Pecel! Saya berencana duet maut sama Mas
Re untuk mengkolaborasikan Goyang Pecel khas Madiun dengan Goyang Peuyeum khas
Jawa Barat. Kayak apa bentuknya? Entahlah… tunggu aja tanggal mainnya. Yah…
sepercik memori ketika saya melakukan perjalanan ke Kediri.
Ketika kereta
berhenti di salah satu stasiun di Madiun, perhatian saya dan sahabat saya
tertuju pada figur(?) seekor kambing yang posisinya, um.. how do I say it? Aneh… setelah kami perhatikan secara seksama
ternyata kambingnya lagi pipis, awww… >.<
Maaf, untuk menjaga privasi si kambing,
saya tidak menampilkan foto dalam posisi ‘syur’-nya
kemudian,
perjalanan pun berlanjut. Saking lama dan membosankannya, sahabat saya pun
tertidur dalam posisi mengenaskan…
Ika, lagi bubuk… ckckckck.
Yeay!
Akhirnya sampai juga di Kediri. Di stasiun kami sudah disambut oleh pria-pria
ganteng berbaju kuning (baca: tukang becak). Mereka dengan baik hati menawarkan
tumpangan untuk naik angkot menuju Kampung Inggris. Saya kira gratis, ternyata
tidak (of course! What did you expect?!),
yaaa… siapa tau gitu kan…
Setelah kami
deal harga, bapak becak mengangkat barang-barang bawaan kami dan menuntun kami
menuju becaknya. Wah! Ternyata becak Kediri beda banget sama becak di Jogja
atau di kampung halaman saya. Becak di Kediri bentuknya lebih ramping, hal itu
membuat saya berpikir dan khawatir, muat ga ya kalau dinaiki saya dan ibu saya?
Becak ramping khas Kediri
Cuaca di
Kediri, wah… jangan ditanya! Mantap panasnya. Hot, Hot, Hot! Three Set Combo
Hot! Apalagi kami sampai di Kediri pas jam 12 siang. Ampun… >.<
Nunggu
angkot ngetem lebih bikin frustasi lagi. Udah panas, sempit, desek-desekan,
keringatan, gatal-gatal dan bau. Ya, mau gimana lagi. Perjalanan dari Kediri ke
Kampung Inggris di Pare memakan waktu kurang lebih 40 menit. Jadi lumayan jauh
juga kalo jalan kaki (jalan kaki?! Dimana akal sehatmu nis?!)
Dalam
angkot, kami sempat mengobrol ringan dengan beberapa orang yang sudah lebih
dulu belajar di Pare. Ketika kami bilang kami akan tinggal di ‘Di** House’
untuk tiga bulan, salah satu dari mereka bilang ‘hati-hati ya kalau mandi’.
Belum sempat kami tanya kenapa, teman mereka yang lain sudah memotong. Reaksi
yang sama juga kami dengar ketika kami ngobrol dengan rombongan lain di angkot
yang sama, ‘hati-hati ya kalau mandi’. Tapi kami juga tidak sempat bertanya
kenapa. Oh please, don’t start with the
bad thing.
Ya
sesampainya di boarding house, ternyata tidak mengobati lelahnya kami. Kondisi
kamar yang pas-pasan membuat kami tidak bisa berhenti mengeluh dan tidak
membuat kami nyaman untuk beristirahat. Ya, maklumlah untuk boarding house yang
non-English area dan hanya sebuah rumah yang disulap menjadi tempat kost. Mau
ke kamar mandi mikir berkali-kali, ada apa sekiranya disana. Walhasil setiap
kali kami mau mandi, kami selalu waspada, barangkali ada yang ngintip atau ada
yang ngapain, entahlah. Pokoknya, status siaga ditetapkan tiap mandi. Well, ternyata
setelah beberapa hari tinggal disana tidak ada apa-apa tuh. Peringatan mereka
kami laksanakan tetapi tidak terbukti dan mudah-mudahan tidak akan pernah
terbukti.
I hope that for the time I stay here Allah
SWT will always protect me, keep me from anything bad. Amiin… Allah tolong lindungi kami…
Okay then,
begitulah sedikit cerita tentang perjalanan kami ke Kampung Inggris, it was fun but also tiring, a little bit
boring and disappointing too. But it was okay, it’s not like I will be stay
here forever. Keep fighting!
Regard.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar