Hihi,
saya suka senyum-senyum sendiri kalau mengingat kenangan saya akan buah-buahan.
Yup, seperti judulnya, tanpa ada makna konotasi atau sejenisnya, yang saya
maksudkan benar-benar karena ingatan saya terhadap buah-buahan. I thought it
pretty interesting stories to be told.
Lahir
di lingkungan masyarakat yang hobi bertanam, dan besar di daerah pedesaan
membuat persepsi saya terhadap jenis buah-buahan berbeda dan relatif unik. Kakek
(alm) dari ibu saya adalah seorang guru yang hobi bercocok tanam. Di pekarangan
kakek saya tumbuh cengkeh, rambutan, anggur, alpukat, pisang, pepaya, jambu,
tanaman-tanaman obat, mangga dan tanaman bermanfaat lainnya. Begitu pula kakek
dari ayah saya yang seorang petani, beliau sampai sekarang masih menggarap sawah,
mengurus pohon mangga, pohon melinjo dan kelapa di sekitar pekarangannya. Saya tumbuh
menjadi cucu yang hanya mengenal jenis-jenis buah-buahan tersebut.
And
the story goes. Stroberi menjadi salah satu buah favorit saya. Yang mana stroberi
(tulisan Indonesia banget), adalah buah yang tidak pernah saya makan dari kecil.
Maklumlah, saya dulu tinggal di kampung daerah pantai, wajar saja kalau tidak
ada stroberi disana. Saya selalu merengek2 minta dibelikan stroberi oleh
orangtua saya. Entah karena alasan stroberi saat itu terlalu mahal atau memang
susah didapat, orangtua saya tidak pernah membelikannya. Saya hanya bisa
berharap agar suatu saat bisa menemukannya di jalan, dan langsung memakannya.
Dulu
sangat populer film Jinny Oh Jinny, Jin dan Jun dan sinetron yang berbau sihir
dan khayalan. Saat itu saya berharap untuk bisa bertemu dengan om Jin atau
Jinny dari lampu ajaib, minta dikabulkan permintaan saya untuk bertemu buah
idaman saya itu. Bahkan saya pernah mengambil batu kali dan menekannya di kedua
telapak tangan saya sambil berdoa, “Ya Allah, ubahlah batu ini menjadi stroberi”.
Ya betul, it’s indeed an absurd thing I’ve ever done.
Kemudian,
apel. Apel hijau sering saya makan ketika saya ikut ibu saya belanja ke warung.
Apel hijau mahal seharga 300-500 rupiah itu sering saya makan. Tapi apel merah…
wah jangan ditanya, dulu saya sangat berharap bisa memakannya tiap hari. Ada cerita
menarik, waktu SD saya sempat dimusuhi teman gara-gara apel merah. Dan memusuhi
saya adalah dua sahabat dekat waktu itu. #ohh~
Suatu
hari ketika saya sedang duduk di depan kelas dengan dua orang sahabat saya itu,
saya didekati teman laki-laki saya yang membawa apel merah. Dia bermaksud untuk
meminjam cutter saya untuk memotong apel merahnya, wah senang bukan main saya.
Langsung berlari ke kelas, ambil cutter dan pergi ke toilet untuk
membersihkannya.
Saya
berikan cutternya, kemudian teman lelaki itu mulai memotong apel dengan hati-hati
dan penuh perhitungan, lama sekali sampai daging apel berwarna kecoklatan, lalu
memberikan sebagian potong kecil apelnya untuk saya. Sambil humming dan riang
saya kembali ke depan kelas dan dengan polosnya menawarkan apel yang saya
cintai itu pada dua sahabat saya.
Si
sahabat satu dengan sinisnya berkata sambil berlalu: “Huh, apel doang seneng
banget, aku udah sering kok makan di rumah, bisa beli sendiri lagi”.
Jedheerrr!!!
Hancurlah
hati gadis kecil yang polos dan tidak tahu apa-apa itu (baca: saya). Kenapa pula
tuh dua orang menghancurkan fantasi saya dengan si apel merah cantik itu,
dengan perkataan yang secara tersirat mengandung makna “Kampungan banget sih lu…”
huhu, dengan mata berkaca-kaca saya makan apel yang rasanya jadi pahit dan
mengikuti mereka pergi. Kenangan pahit dengan buah apel merah yang seharusnya
terasa manis, untungnya saya tidak mengalami trauma untuk makan apel merah. Syukurlah…
(_TvT_)
Okay,
that’s it for now. I’ll tell you next time for sure, since I have so many more
to tell… :D
Regard