Huaaa >,<
Udah lama
banget gak nulis di blog. Yaa selain menghindari adanya kemungkinan saya galau
di blog, juga karena selama ini saya sibuk dengan kegiatan-kegiatan. Ahaha.. Sebenernya
bisa2 aja nulis saat sibuk, tp karena kemarin saya lagi gak enjoy dg apa yg
saya lakukan, jadi saya menghindari menulis.
Nah, itulah
sedikit alasan mengenai mengapa saya tidak pernah ngeblog akhir2 ini. Dan hari
ini saya lagi mood banget nulis, ditemani hujan, langit mendung, perut kenyang
setelah ‘ngemil’ bakso jumbo MM, dan musik instrumental dari Yiruma, pianis
jenius dengan lagunya “River Flows in You”. Wow... Mood: UP! UP! UP! (>v<
)
Apa yang saya
tulis kali ini adalah hasil dari renungan dan belajar saya di tempat baru.
Mungkin terdengar tidak begitu penting, namun bagi saya hal ini adalah ‘mini’
turning point. Why? Let me explain.. J
Pertama, ada
hubungannya dengan pernyataan diatas, dimana saya katakan: saya tidak enjoy
dengan apa yang sedang saya lakukan. Betul sekali, begitu kuliah di lingkungan
baru, secara drastis pribadi saya berubah. Yaa.. diakui, ada hal positif dan
negatifnya. Positifnya saya sekarang jadi pribadi yang kritis, saya suka
membaca, ingin tahu saya semakin besar, kompetitif, ingin selalu unggul, apa
saja saya baca, tidak mudah menelan mentah-mentah informasi, dan banyak
pelajaran hidup lain yang membuat saya merasa ‘lebih’ dari yang sebelumnya. Tidak
bisa dipungkiri bahwa hal itu dipengaruhi oleh lingkungan. Orang-orang di
sekitar saya saat ini memang seperti itu, entah bagaimana saya ter-influence dg
hal itu, tp saya merasakan betul manfaatnya. Jadi hal tersebut merupakan list
yang selalu saya syukuri ketika saya berdoa. J
Alhamdulillah
Negatifnya, saya
lebih blak-blakan, apa yang tidak disuka langsung saya ungkapkan, saya selalu
mencari pembenaran dari apa yang dikatakan. Inilah yang selalu saya khawatirkan.
Saya merasakan dampak negatif darinya. Selalu memandang rendah siapapun yang
tidak saya suka, duh.. padahal hal ini jelas ditentang dalam Islam.
Astaghfirullah L
Untuk itu,
saya ingin terus belajar, memperbaiki diri, meningkatkan kualitas diri tanpa
melukai orang lain. Hanya itu.
Dalam keadaan
seperti itu, suatu hari, saya diajak oleh seorang teman menghadiri acara
Tabligh Akbar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kala itu, saya tidak peduli
siapapun yang mengisi tabligh akbarnya, yang penting saya dapat siraman rohani.
Saya orang yang terhitung kurang rajin mengikuti acara semacamnya, karena saya
sering cepat merasa bosan dan monoton mengikuti acara tersebut. But that day, I
felt really good, I felt like I should come no matter what. Dan Yes,
Alhamdulillah Allah menunjukkan jalan bagi saya untuk memperbaiki diri. Kala
itu tabligh akbarnya diisi oleh seorang Ustadz muallaf, Felix Y. Siauw. Dan itu
menjadi awal dari apa yang saya bilang “mini” turning point… J
Awalnya sama
sekali saya tidak tahu menahu siapa itu Felix Siauw? Muallaf berapa lama bisa
isi tabligh akbar? Bagus gak ceramahnya, kalo gak bagus saya akan langsung
pergi. Nah… keliatan kan bagaimana rendahnya saya dalam menilai orang kala itu?
Singkat cerita,
sang ustadz begitu keren dalam menyampaikan materi, saya tegaskan, bukan
orangnya, tapi materi dan kualitas bahasannya. Benar-benar bikin saya terpesona,
terkaget-kaget oleh setiap fakta yang diungkapkan beliau. Begitu menggebu-gebu
apa yang diutarakannya. Saat itu ustadz menyampaikan materi “Muhammad Al Fatih”.
Apa yang diungkapkan beliau membuat hati saya bergetar dan berkata dalam hati:
“Ya Allah,
berapa tahun saya hidup di dunia, berapa lama saya diajarkan Pendidikan agama,
saya lahir di lingkungan beragama Islam, lahir di Negara yang begitu mudahnya
saya beribadah, mengapa saya tidak tahu apapun tentang Islam?”
Tidak sengaja
air matapun mulai menetes, kala itu. Sadar, begitu jauhnya saya dengan Allah,
begitu jauhnya saya dengan tanda-tanda dan kebaikan Allah. Saya merasa terpukul,
tapi di saat yang sama juga semakin penasaran dengan Islam. Saya ingin belajar
lebih jauh, terutama dari ustadz muallaf ini. Cara menyampaikannya tidak biasa,
membuka hati dan pikiran, tidak sama dengan siapapun yang pernah saya temui. Beliau
lugas dan tegas, itulah kekhasannya. Esoknya saya mengikuti pengajian khusus
muslimah yang juga diisi oleh beliau. Meskipun dalam menyampaikan materi begitu
menggebu, hal yang saya ingat, dari beberapa hal lain yaitu: ketika ada seorang
ibu2 dosen yang menyatakan ketidaksetujuannya dg apa yang dikatakan oleh ust.FS,
beliau dengan santainya menjawab: “waow, emosional sekali bu” membuat semua
hadirin tertawa. Kemudian beliau menjawabnya dengan penuh ketenangan, logis,
tapi juga tetap pada perkataan awalnya, tidak goyah, tidak mudah dipatahkan. J
Saya kenang
terus apa yang disampaikan oleh beliau, sehingga saya aktif mencari tahu ttg
beliau, blog, fb dan twitter saya ikuti, saya tidak ingin ketinggalan dalam
memperoleh ilmu beliau. Karena beliau begitu aktif, pernah saya sampai
kewalahan mengikuti aktivitasnya di jejaring sosial. Hingga saat ini masih saya
belajar dari beliau, saya belajar kritis juga dari beliau, belajar bahwa
informasi apapun yang kita terima jangan ditelan mentah2, jangan ikut2, jadilah
muslim yang syar’I, yang kuat meskipun diserang kekuatan liberal barat,
menyatukan ukhuwah dan terus memperbaiki kualitas diri. Itulah sedikit dari apa
yang saya peroleh.
Benar-benar
inilah turning point saya yang pertama. Ya, agama. Saya ingin memperbaiki diri
saya melalui agama. Melalui jejaring media social pula lah saya sharing apa
yang saya dapat, murni karena saya ingin teman2 pun belajar banyak, tahu
banyak, dan kritis. Seorang teman yang selalu mengamati tingkah polah saya di
socmed, sampai memanggil saya “kayak ustadzah”. Padahal bukan itu maksud dan
esensinya. Murni karena saya ingin orang lain tahu. Itu saja, tidak ada
pencitraan diri atau apapun. Malu lah saya dipanggil “kayak ustadzah” padahal
ilmu saya masih ceteeeeekkkkk secetek-ceteknya, belum sepenuhnya saya syar’i dalam
penampilan, walau niat sudah ada. Malu lah saya pada teman2 akhwat/ikhwan
lainnya dipanggil begituan padahal apa yang saya pelajari tidak seberapa dibanding
mereka. Entahlah. Niat saya murni kok. Tanpa maksud pencitraan. Insya Allah,
dan semoga selalu istiqomah J aamiin
Kedua, saya
belajar melihat sekeliling lebih jeli. Di tempat kuliah dulu, memang semua
serba difasilitasi mengingat tempat saya kuliah dulu adalah universitas nomor
satu se-indonesia berdasarkan survey beberapa lembaga tertentu. Begitu mudah
perjalanan saya disitu, hingga saya menjadi pribadi yang terkungkung, malas dan
sama sekali tidak kritis. Yaaa… karena semua serba difasilitasi itu, jalan
sudah diaspal, kertas begitu bersih, saya tinggal berjalan dan menggambar
sebebasnya. Namun semua itu berakhir ketika saya berkuliah di tempat baru.
Pada awalnya,
saya begitu... ah, sick of this, tired of that, I don’t want to, dan lain-lain,
saya perlahan jadi pribadi yang pemarah dan emosional. Keadaan begitu memojokkan,
mengikat, begitu rendah dan murahan. Saya yang terbiasa dengan “jalan mulus”
serta “kertas bersih” dihadapkan pada “jalan berbatu beriku” dan “kertas lusuh
bekas” yang membuat saya begitu frustasi. Saya begitu idealis mempertahankan
apa yang saya pegang, namun hasilnya nol, mengecewakan, tidak menyenakan. Saya kaku
dan hopeless, berada dalam sistem yang begitu rumit dan sulit. Saya begitu
benci dengan semuanya.
Namun tak
disangka, keadaan seperti itu justru membuat saya melakukan gebrakan, melawan,
berjuang, dan semakin jeli membaca karakter orang.
Dan sekarang,
saya lebih santai, lebih fleksibel, meskipun saya akui ke-idealis-an saya masih
ada. Mungkin inilah cara Allah mengembalikan saya ke jalan yang benar, saya
ditegur sakit selama kurang lebih 4 minggu (mungkin ini rekor paling lama saya
sakit). Allah ingin saya bertaubat, Allah ingin saya memohon ampunannya, dan
semoga itu yang selalu saya lakukan. Betul, kerinduan saya akan kebenaran
adalah yang akhirnya saya sebut “mini” turning point. Semoga Allah selalu
menyertai saya dalam belajar, meridhoi, dan menjadikan saya pribadi yang baik
dan berkualitas. aamiin J
Inilah,
mungkin, cara Allah menunjukkan saya tempat dimana seharusnya saya berada, the place I
should be J